Rabu, 07 Mei 2008

Palangkaraya 1 : Hotel Halmahera


Bandara Tjilik Riwut. 21 April 2008. 14.30 WIB

Begitu mendarat di Bandara Tjilik Riwut, saya melihat ada perbedaan yang mencolok sekali. Turun dari Batavia Air, langsung melihat begitu banyak polisi dan pasukan doreng memenuhi ruang tunggu bandara. Ternyata, kedatangan saya hari itu di Palangkaraya bersamaan dengan rencana kedatangan Pak SBY. (Kalau tahu dia mau datang juga, kan sebenarnya bisa janjian untuk terbang sama-sama... hehee....).

Pengamanan menjadi begitu ketat. Syukur juga, dengan begitu, rasa aman sangat terasa. Begitu juga karena mau ada kunjungan RI 1, semua jalan diperbaiki. Tahun lalu di bulan yang sama, saya datang disambut asap tebal di kiri-kanan jalan. Karena mau ada kunjungan Presiden, sama sekali tidak ada asap. Yang ada justru taman-taman indah yang baru dibuat, dan juga aspal jalanan yang nampak masih sangat halus mulus. Lumayan... Ikut menikmati persiapan kunjungan presiden.

Tapi dampak yang buruk juga harus dinikmati. Karena rencana kunjungan presiden itu, semua hotel di Palangkaraya penuh-nuh! Hotel Dandang Tingang yang biasanya jadi langganan, sudah habis dipakai para pejabat daerah dan pusat yang menyertai kunjungan presiden. Begitu juga kebanyakan hotel lain yang letaknya strategis di pinggir jalan raya. Untungnya, ada satu hotel yang masih memiliki kamar kosong. Hotel Halmahera, yang letaknya di Jalan Halmahera (Gak tahu mana duluan, jalan Halmahera duluan atau Hotel Halmahera duluan, tapi pasti ada hubungannya).

Hotel ini, menurut cerita, termasuk salah satu hotel paling populer pada jamannya. Kapan? Pada waktu sarana transportasi di Kalimantan masih bergantung sepenuhnya kepada transportasi sungai. Hotel ini memang strategis, di dekat pasar besar dan di dekat pelabuhan sungai utama di Palangkaraya. Dengan demikian, kebanyakan pedagang dari pedalaman yang datang ke Palangkaraya dan harus menginap, akan memilih hotel Halmahera.

Enak juga tinggal di hotel ini, kamarnya luas dan AC juga ok. Hanya perabotan yang terkesan seperti perabotan rumah tahun 70-an. Dan mungkin karena 'visi' hotel ini untuk menampung mereka yang dari pedalaman, ada beberapa kejanggalan di situ, khususnya di bagian toiletries. Tidak ada tissue, shower tidak jalan baik -- justru yang mengalir deras adalah keran ke ember, penyemprot dimatikan, dan justru disediakan gayung..

Setelah jalan darat menjadi lebih ramai, hotel ini mulai ditinggalkan. Hotel melati 3 ini kemudian menjadi sepi, dan bahkan cenderung agak kotor. Untungnya, dalam beberapa bulan belakangan, dibuat renovasi untuk menghidupkannya kembali. Agak terlambat, tetapi lebih baik daripada sama sekali tidak ada perubahan.

Dunia ini memang berubah, ya.. Cepat sekali perubahannya... Dan supaya kita bisa tetap relevan dan bersaing (kasarnya: supaya bisa tetap laku!), kita juga perlu mengikuti perkembangan itu. Ketinggalan jaman, menjadi kemalangan yang semalang-malangnya.

Rabu, 16 April 2008

Jalan-jalan ke Lumajang


Minggu lalu, 12-13 April, weekend di Lumajang. Kota yang tidak terlalu besar, tapi lumayan rapih. Panasnya memang menyengat, dan yang lebih sulit lagi, Jl. Panglima Sudirman dibuat searah, panjang banget. Beberapa kali mau cari oleh-oleh khas Lumajang (pisang agung yang gedenya luar biasa, sama kripik pisangnya yang enak), tapi harus keliling-keliling Jl. Sudirman beberapa kali. Anak-anak di belakang, yang kebanyakan nonton F1 dan main PS, sudah mulai menggoda, "Lap pertama sudah dilewati. Kita melewati becak Pak Karto, melewati sepeda Jumakir, dan sudah di posisi pertama." Ternyata, kebablasan lagi, sehingga mengulang di jalan yang sama. Begitu terus sampai 4 lap. Kalau ada petunjuk yang lebih jelas untuk daerah tujuan wisata di dalam kota Lumajang sendiri, mungkin lebih menarik.

Yang paling menarik di Lumajang, tentu saja adalah pisangnya. Pisang Ratu namanya, dan panjangnya bisa mencapai hampir 50 cm. Pisang biasa, termasuk pisang Ambon yang ukurannya besar, biasanya panjangnya cuma sekitar 25 cm, itu termasuk sangat besar. Pisang Ratu Lumajang, panjangnya 2 kali lipat dari pisang Ambon. Harganya juga termasuk lumayan, 1 sisir sekitar 20-25 ribu rupiah. Termasuk agak mahal, memang, tetapi melihat besarnya, kayaknya kok sepadan.

Istriku, yang memang suka beli-beli, langsung beli 3 sisir, gak tahu siapa yang menghabiskan nantinya. Tidak enak langsung dimakan begitu saja, dan harus dikukus atau digoreng dulu, baru enak. Anak-anak memang hobby makan pisang, jadi begitu sampai di rumah hari Minggu malam, besok Seninnya langsung minta Ibu yang bantu di rumah untuk menggorengnya. Sorenya, sambil nonton TV dan ngobrol, enak juga makan pisang goreng, tambah pisang kukus, dan ditambah lagi dengan kripik pisang. Serba pisang.....

(Kayak waktu kecil di Kawunganten dulu. Rumah Budhe di dekat pasar dulu dikelilingi oleh kebun pisang yang luas (Sekarang sudah gak ada lagi kebun pisangnya, yang ada hanya rumah-rumah dan rumah). Kalau lagi panen pisang, pasti dibawa ke Gunungsari, jadi bisa ikut makan pisang sampai bertundun-tundun. Sudah lama sekali tidak makan pisang dalam jumlah yang banyak sampai mblenger begitu)

Pulang dari Lumajang sudah agak malam, karena memang makan malam dulu di sana. Makan ikan bakar sama ayam goreng. Enak masakannya, lokasinya juga enak. Tapi karena keasyikan, akhirnya agak kemalaman pulangnya. Rencana pulang jam 7 sore, akhirnya terlaksana jam 7:30.

Kelambatan yang hanya 30 menit itu rupanya berakibat panjang. Rupanya jam-jam segitu merupakan jam keluarnya truk-truk gandeng yang jalannya merayap. Terpaksa harus bersabar juga mengikuti kecepatan truk gandeng, sambil mencuri-curi nyalip kalau ada kesempatan. Begitu terus mulai dari Lumajang, Klakah, Ranuyoso, Leces, sampai di Probolinggo. Jengkel juga sih, karena harus tertahan kayak gitu. Bahkan musik asyik yang didengar, dan ikut dinyanyikan sama anak-anak, tidak bisa cukup mengangkat suasana. Lain kali, kayaknya mendingan pulang agak siangan dari sana.

Sampai di Malang, sudah malem. Hampir tengah malem bahkan, sampai harus bangunkan Satpam perumahan, yang ternyata ketiduran dua-duanya.

Selasa, 15 April 2008

6 Jam di Kawunganten


Bulan Maret, sempat pulang ke kampung sebentar. Cuma 2 hari thok. Buat tamba kangen. Kayaknya karena sudah lama tidak pulang, rasa kangen kampung itu tambah menggunung. Sukur akhirnya kesampean bisa pulang ke Kawunganten, walaupun gak sempat nginep babar blas.

Berangkat naik KA Argo Wilis dari Kertosono, perjalanan menempuh waktu hampir seharian dan akhirnya sampai di stasiun Kroya. Biasa di Malang yang lumayan dingin, Kroya menjadi terasa sumuk banget. Daripada jalan kaki ke terminal, mending naik becak, itung-itung bagi rejeki sama bapak tukang becak. Di bis Kroya-Cilacap, panasnya tambah ampun-ampun. Jendela sudah dibuka, angin sudah bertiup, tapi tetep sumuk pol.

Sampai di Cilacap sebenarnya masih sore, sekitar jam 4, tetapi rasanya capek banget setelah perjalanan seharian, akhirnya di terminal Cilacap aku memutuskan untuk tidak naik bus Cilacap-Sidareja yang memang akan membawa aku ke Kawunganten. Aku nginap dulu di Cilacap.

Sebagaimana biasa kalau kemalaman di Cilacap, hotel Nusantara Cilacap jadi pilihan untuk nginap. Hotelnya kecil, gak terlalu mewah, tetapi lumayan. Gak pake bintang kayaknya, tapi gak apa. Yang sedikit jadi masalah adalah karena bath-tub di kamarku sudah ditambal dengan gak rapih, jadi malah kesannya jorok banget. Gak apalah, yang penting bisa kungkum air anget beberapa menit, menghilangkan penat.

Yang justru mengecewakan adalah karena hotel tidak menyiapkan generator untuk emergency, sehingga waktu malamnya mati lampu, gelap-gelapan jadinya. Hotel kayak gitu kok gak punya generator, nyebelin. Pas lagi makan di resto hotel, pas mati lampu. Yang masak juga gak konsen, yang makan juga gak nyaman. Ampun. Nggumuni banget. Hari gini ada hotel yang gak ada genset.

Paginya, agak gasik pulang ke Kawunganten. Memasuki wilayah Bojong, langsung mulai ingat-ingat teman-teman lama. Terlalu banyak kenangan masa doeloe yang terjadi di sekitar SMP Negeri Kawunganten. Mulai dari lapangan Bojong tempat kami biasa bal-balan, sampai sier, terus lewat depan SMP Negeri Kawunganten. Jadi ingat bahwa dulu, kalau mau pulang naik bis, pasti rame-rame sama temen-temen. Nyegatnya memang agak susah karena jaman itu anak sekolah cuma bayar sedikit.

Tambah medeni jalan di depan Pasar itu. Di depan Alfa-Mart (Hehe... di Kawunganten sudah ada Alfa-Mart sekarang), ada lobang besar banget, ketutup air, jadinya waktu mobil lewat goyangannya lumayan. Padahal itu pusat kota, pas di depan Pasar Kawunganten, depannya toko yang (dulu jaman aku kecil) paling besar di Kawunganten, yaitu toko Palapa. Kayaknya kalau ada yang iseng pelihara lele di situ, hasilnya lumayan juga. Jaman pendidikan gratis, jalan bolong. Kayak sarung cupet saja!! Kalau jalan diperbaiki, pendidikan mahal; kalau pendidikan murah, jalan bolong!

Ahh.... sampai juga di kampung halaman tercinta, grumbul Gunungsari, Kawunganten (sekarang namanya Kawunganten Lor). Jalannya masih persis seperti waktu aku pergi dari sana, 19 tahun yang lalu. Dulu waktu aku kecil, aku ikut kerja bakti mecahin dan nyusun batu untuk jalan ini, dan sekarang, keadaannya sama sekali tidak berubah. Hanya rumah-rumah di kiri kanan jalan yang berubah, tetapi tidak terlalu manglingi.

Sempet panen rambutan di rumah, karena memang sudah wayah panen rambutan. Lumayan. Ngobrol sama Bapak, Ibu dan adikku selama beberapa jam, lumayan. Ibu malah masak sayur gendhot (ada yang menyebutnya genjer), sayur kesukaan waktu aku kecil. Dan rasa masakan Ibu tetep sama seperti waktu aku kecil. Enak? Perlu rasa cinta dan kangen yang sangat besar untuk bisa mengatakan kalau masakan Ibu itu enak. Ibu memang kurang pinter masak, tetapi rasa kangen itu membuat sayur genjer itu menjadi lebih enak dari cumi-cumi saos Inggris yang dimasak di Hotel Nusantara.

Sayangnya, sorenya memang harus pulang, kembali ke Malang. Kapan lagi ya, bisa nyuri-nyuri waktu beberapa jam pulang kampung begini??